Jack and Rose? Are you kidding me?!

 

JackandRose

Tittle               : Jack and Rose? Are you kidding me?!

Author            : Midnight Fairy

Length            : Oneshot

Genre              : Fluff, Romance

Rating             : PG – 15

Facebook        : https://www.facebook.com/fai.izzie?ref=ts&fref=ts

Cast(s)            :

  • Jeremy Kim A.Ka Kim Jong Woon
  • Joanna Han A.Ka Han Hyo Jae ( OC )

 

                     This Fanfiction Orginal of my mine!

                     Don’t like, don’t Read. Be smart readers, right?

 

Oke! Jangan banyak berharap dengan FF ini

Pertanyaan temen-temen tentang kisah Romance menurut mata Midnight fairy bisa diliat disini -_-

Ini bahkan jauh dari Romance yang saling cinta, cibi-cibi, yeye lalala itu

Tapi ane tetep berusaha

Inilah sisi romantis yang sangat tidak romantis dimata org lain wkwkwkwk

Oh ya, pasti ada yang bertanya kenapa namanya Jeremy dan Joanna. Karena ane suka itu ajaaa hahahha

Jeremy itu nama baratnya Yesung…

 

 

Happy Reading

 

 

 

Akhir musim semi, hitungan minggu dipenghujung agustus yang hangat. Beberapa pohon cerry blossom dengan batang coklat kehitaman yang berjejer di tepi jalan Stanley Park, masih dipenuhi rerimbunan bunga-bunga merah muda. Sesekali kelopak-kelopak kecil itu berjatuhan membuat warna abu-abu jalan setapak Vancouver berhias merah jambu.

 

Disinilah Vancouver. Daratan Kanada yang terkenal dengan tampilan surgawi dunia. Kota yang berbalut dengan deru ombak dan gagahnya pegunungan bersalju, North Shore. Dan disana juga, kota yang selalu menjadi tujuan kedua Jeremy Kim, setelah Negara kelahirannya, Seoul. Di Korea ia lahir, tapi di Vancouver ia ingin menghabiskan hidup.

 

Langit sore Vancouver tampak lebih indah dibanding wilayah bagian British Colombia lainnya. Kilauan warna keemasan yang berbias biru langit, menghampar elok. Puncak North Shore yang semakin diselimuti awan tebal kelabu. Cahaya matahari yang memanjakan para pejalan kaki. Ya, ini musim yang selalu di nanti Jeremy. Meskipun ia juga menyukai seluruh perubahan-perubahan alam di Vancouver.

 

Tampak di sudut sana, salah satu meja balkon di kedai kopi—Starbucks, Jeremy bersama wanita ramping berambut hitam, bermata almond kecoklatan, duduk saling berhadapan. Sesekali tertawa lebar, sesekali saling melempar lirikan kesal.

 

“Jadi, apa yang kita lakukan setelah ini? Hanya diam memandang matahari terbenam dari Starbucks, atau pulang?” Wanita itu berbicara kemudian menyesap tegukan terakhir moccacino-nya. Melirik air kecoklatan itu, lantas bergantian melirik jalanan disenja hari yang dipadati orang-orang berambut pirang.

 

Jeremy mendengus, “Jangan bercanda, Joanna. Berapa tahun kau hidup denganku? Bagaimana bisa aku suka terkurung di kamar berplafon penuh lumut itu.”

 

Joanna meletakkan cangkir kosongnya dengan kesal. Suara dentingan beling sedikit membuat Jeremy tersentak. “Bodoh! penuh lumut itu juga tempat tinggalmu. Harusnya aku yang kesal karena tinggal di sana.”

 

“Oke… oke… calm down darl.” Jeremy terkikik sembari mencoba menyentuh jari-jari wanitanya.

 

Darl darl… dadar guling perutmu.” Ia memandang datar Jeremy. Pandangan yang Jeremy sangat tau makna ketidaksukaan wanita itu.

 

Pria dengan blouse hitam itu tertawa. Menjatuhkan punggungnya di kursi. “Oh ya! Mata membunuhmu kembali dar—”

 

Belum sampai lidah Jeremy bercuap, ia sentak terbungkam dengan kedipan tanpa ekspresi wanita di depan. “Maksudku Joanna,” tambahnya lembut. Tersenyum, memamerkan gigi-gigi kecil yang berjajar rapi.

 

“Hapus panggilan menjijikkan itu atau—”

 

Jeremy menyeringai. Ia mendekatkan wajahnya pada Joanna. “Atau apa? Atau kau akan menyumpal mulutku dengan cangkir? Ah! aku sudah bosan dengan ancaman semacam itu. Bagaimana kalau menyumpal dengan benda lain, eoh?” Jeremy menyentuh bibir bawah Joanna. Telunjuknya berputar-putar mengelilingi garis bibir atas dan bawah wanita yang tampak merona tersebut. Tak bisa menyergah ataupun menahan tindakan Jeremy dengan sahutan wasabinya.

 

“Kenapa kau diam, Jo?” Tangan Jeremy sudah berpindah pada telinga Joanna. Dengan lembut, ia menyingkap beberapa helai rambut legam wanita itu ke belakang telinga. Joanna menggigit bibir bawahnya. Menilik wajah putih Jeremy yang berhias senyum menggoda.

 

Mereka terdiam dengan saling menatap. Membiarkan para pengamen jalanan yang bersenandung lagu latin bersama gitarnya di seberang sana. Berbeda dengan bibir Jeremy yang merekah, Joanna hanya terdiam dengan pandangan tak mengerti, bingung memulai dari mana. Ia membiarkan otak liarnya berteriak memerintah.

 

Sorry, miss, sir, ini bill-nya.”

 

Mereka berdua sentak menoleh ke pelayan pada saat bersamaan.

 

“Ssh! Kau datang di saat yang tidak tepat, tuan pelayan,” runtuknya seraya merogoh saku, berusaha mencari dompet dengan tergesa.

 

Si pelayan hanya tersenyum geli. “Kalian bisa lanjutkan setelah ini,” sahutnya halus.

 

Thank you,” tambah pelayan lagi setelah Jeremy meletakkan beberapa lembar dollar di meja. Pria muda bermata biru itu pergi diikuti pandangan Jeremy.

 

Jeremy kembali memutar kepalanya menghadap Joanna. “Jadi, sampai dimana kita tadi?”

 

Dan wanita itu membalas dengan senyuman. Membuat lesung pipi kecilnya menghiasi penglihatan Jeremy. “Sampai—” Ia balik meraih wajah Jeremy, menyentuh hidung mancung prianya.

 

“Sampai di sini.” Dengan sekali hentakan, Joanna menjentikkan jari ke hidung Jeremy. Sontak pria itu mengerang seraya memulas bekas pukulan jari kecil

Joanna yang penuh tenaga.

 

“Kau ini wanita kurus tapi bertenaga hulk.”

 

“Apa katamu, Je?” Alis Joanna terangkat.

 

Masih dengan aktivitas menyentuh hidung, Jeremy berpura-pura tak mendengar. “Ini lumayan sakit,” gumamnya tak menggubris pertanyaan Joanna.

 

Joanna menghela. Ia berdiri seraya membenarkan dress mini dengan celana pendeknya. “Terserahlah. Aku mau pulang. Kalau kau ingin mabuk kopi, silahkan saja.” Joanna meraih selembar tisu, lantas membersihkan area bibir. Melempar lembaran halus itu ke meja. Dan Jeremy hanya menggeleng pasrah. Kemudian mengikuti langkah-langkah wanita tersebut.

 

Saat Joanna melangkah, ada sekumpulan merpati abu-abu mendarat di ruas jalanan para pejalan kaki. Joanna menyeringai nakal. Dengan santai, disertai suara ketukan heels sepatunya, ia mendekati para burung dara yang menyantap bebijian. Satu, dua, hingga lima langkah lantas saja membuat sekumpulan merpati terusik. Mereka terbang secara bersamaan menghindari tubuh Joanna. Dan wanita itu hanya tersenyum puas.

 

“Aku baru tau kalau kau sangat nakal, Jo.” Lengan Jeremy terayun melingkar ke bahu Joanna.

 

“Tapi kau sangat tau kalo aku tak suka disentuh ‘kan, tuan Kim?” Tatapan malas sukses diberikan pada Jeremy.

 

Jeremy berdecak, “Oh God! Bagaimanapun aku ini suamimu Nyonya Han. Tidak ada yang bisa melarangku melakukan apapun padamu.”

 

“Tidak setelah kau membersihkan lumut-lumut kamar kita,” sahut Joanna seraya melepas tangan Jeremy pada bahunya.

 

Dan pria berwajah oriental di tengah wajah-wajah pucat disertai bintik kemarahan orang barat itu hanya tertawa. Memperhatikan wanitanya pergi dengan langkah anggun. “Aku bisa gila menghadapi orang ini,” gumamnya disertai rekahan bibir.

 

Di tengah salah satu taman kota terbesar di dunia—Stanley Park—Joanna berjalan santai. Memperhatikan para keluarga yang berjalan sore bersama kereta bayinya. Si wanita yang membawa cihua berpita di ekor. Serta para pecinta yang berpegangan tangan seraya bersenda gurau, saling mencicipi es cream corn mereka.

 

Terusik dengan angin yang semakin kencang, Joanna berusaha mengikat rambut panjangnya.

 

“Siapa yang menyuruhmu menyingkirkan rambut hitam kesukaanku itu?” Suara dan sergahan Jeremy sontak membuat aktivitas Joanna berhenti. Ia kembali mengurai rambutnya tersebut.

 

Joanna mengernyit tatkala mendapati lelakinya bersama sepeda telah ada di sebelah.

 

Jeremy mengedikkan dagu, “Jangan menghabisi waktu. Kau mau naik atau aku mengajak wanita lain?”

 

“Cih!” Joanna mendengus, “Kau pikir ada wanita barat yang sudi bersepeda bersama lelaki semena-mena sepertimu?”

 

Dan pria di depan Joanna tak mengubris. Ia malah memperhatikan kawasan sekitar yang kembali dipenuhi merpati.

 

“Mungkin ada. Apa kau mau bukti, dear?” Balasnya tanpa menatap ekspresi merah wajah Joanna. Dan kali ini, bibir Joanna yang terbungkam. Dia bisa saja menjadi wanita yang berpura-pura tak peduli, tapi ia juga sudah mengetahui perangai Jeremy yang tidak suka bermain-main dengan ucapan pada saat-saat tertentu. Lagipula, siapa yang rela melihat suami tampannya bersama wanita-wanita tinggi bermata hijau itu?

 

Ia menghela dan menaati keinginan Jeremy. Sebelum itu, ia memandang tak mengerti sepeda berwarna biru tersebut. “Apa kau tidak melihat ada tempat duduk di sini, SAYANG?” Joanna menekankan kata-kata tersebut dengan gerahamnya, seolah peringatan emergency.

 

Jeremy bergidik, “Ah, ayolah! Ini karena kau yang selalu menonton horor dan action, akhirnya tak pernah romantis meski pada priamu sendiri.” Jeremy meraih pinggul Joanna dan menuntunnya ke depan.

 

“Hei, hei apa ini!”

 

“Diam. Tidak bisakah kau sekali saja menuruti ucapanku? Ikuti ini demi keselamatanmu.”

 

“Kau pikir, kau itu yakuza,” gumam Joanna saat telah ada dibagian depan sepeda. Jeremy tersenyum lebar, sedangkan Joanna menahan malu hingga wajah putihnya memerah seperti buah cerry yang kapan saja bisa dicuri tupai karena wangi manisnya.

 

Perlahan, goesan sepeda Jeremy sampai pada tepi panjang jalanan yang berhias pantai disisi kiri mereka. Seperti suguhan surgawi yang tak pernah disentuh oleh tangan manusia. Bebatuan hitam yang terhampar saling bertumpuk pada pasir halus pantai, menarik kaki-kaki kecil untuk mencoba sensasi hangat dan tekstur keras batu khas itu.

 

“Bagaimana, kau menyukai ini?” Suara ombak mengalun ringan pada indera pendengaran Jeremy. Indah dan menenangkan.

 

“Aku menyukai semua, kecuali tatapan menggelikan orang-orang saat melihat kita. Kau tidak sadar dengan umurmu?”

 

Pria dengan mata tajam tersebut hanya menghela. “Oke, istriku yang lebih muda dariku 9 tahun. Wanita es yang lidahnya sebeku es. Wanita yang aku tidak tau kenapa bisa kujadikan istri. Dan sosok aneh yang entah kenapa kucintai, berhentilah menyahut dengan kata-kata tak seindah wajahmu. Untuk kali ini, anggap kita adalah Jack and Rose. Deal!”

 

Kali ini suara tawa Joanna memecah angin dan deru ombak. “Oh God… kali ini kata-katamu sangat romantis, Jeremy. Tapi, tetap saja menggelikan. Ya ampun! aku bisa terjatuh karena kata-kata badut itu. Haha!” Selorohnya tanpa mengindahkan pincingan kesal sang pria.

 

“Oke… oke… anggap kita Jack and Rose, meski aku tak ingin setua mereka dan setragis mereka.” Joanna masih terkekeh geli mengingat perkataan suaminya.

 

“Anak baik.” Bibir Jeremy mengecup cepat pipi Joanna yang tertutup rambut-rambut halus yang berterbangan.

 

“Lihat! Ada burung nemo di atas batu itu!” Masih dengan mengayuh sepeda, jari mungil Jeremy mengarah pada batu tinggi bak tiang yang menjulang di sisi jalan; Shiwash Rock. Tiang-tiang batu alam pembatas pantai pasifik dengan jalanan luas wisatawan.

 

Mata coklat Joanna mengikuti arah pandang Jeremy. “Itu burung camar, bodoh.”

 

“Nama camar itu terlalu klise. Aku lebih menyukai burung nemo. Bukankah ia salah satu pemeran difilm finding nemo? Artinya dia berhak nama itu.” Jeremy tetap bersikeras meskipun celotehannya tak masuk akal untuk Joanna.

 

“Terserahlah. Mau kau beri nama nemo, camar, melo, kkoming, atau Jong woon sekalipun, tidak masalah.”

 

“Dasar, lagi-lagi aku kalah denganmu. Tapi lihat, apa kau akan menang nanti malam, Nyonya.”

 

Mata Joanna memincing, membalik sedikit kepalanya. Menatap wajah serius Jeremy yang susah payah mengayuh sepeda melintasi jalan berangin ini. “Bisa ulangi?”

 

“Tidak, ini hanya berat, dear.”

 

Joanna mendengus malas, “Cih! Semakin lama kita tinggal di US, semakin banyak panggilan menjijikkan seperti itu.”

 

“Bagaimanapun juga bentukmu, aku bersyukur kau seperti ini, Joanna. Jika denganku saja kau tidak suka kupanggil dengan kata-kata sayang, itu artinya tidak ada pria lain yang bisa memanggilmu seperti itu, bukan? Tapi, jika hal itu hanya berlaku untukku, pria itu akan mati,” Jeremy bergurau diselingi senyuman amat manis.

 

Meski wajah Joanna tetap datar, tapi hatinya tak pernah bosan meletup saat disisi Jeremy. Mereka bertemu sudah hitungan tahun. Mereka mengikat janji telah sampai hitungan bulan kedua belas, tepat ketika bunga-bunga mekar seperti sekarang, musim yang sama walaupun di Negara yang berbeda—Korea. Dan tidak ada yang salah dengan perbedaan mencolok itu. Si wanita es dan pria unggun. Hangat dan sejuk pada saat bersamaan.

 

“Berpikir saja tentang dirimu yang selalu mengumbar kata-kata horor itu, Je,” balas Joanna datar. Wanita yang pintar berakting jika tentang perasaan. Joanna selalu bisa memberi ungkapan-ungkapan yang tak memberi celah menjadi gadis pemuja cinta di mata Jeremy.

 

Jeremy hanya diam dan menggariskan senyum kecil. Kaki Jeremy terhenti tepat di depan batu besar bertuliskan Prospect Poin. Sebuah wilayah tertinggi di Stanley Park. Ia turun dari sepedanya, tanpa memberi izin Joanna untuk ikut menginjakkan kaki di aspal mulus tersebut.

 

“Aku ikut turun,” elak Joanna yang sontak turun dari rangka sepeda itu.

 

Lagi-lagi helaan napas Jeremy menguar. Ia bosan terus-terusan beradu mulut cabai bersama istrinya. Toh, persentase kemenangannya hanya enam puluh berbanding empat puluh.

 

Tangan Joanna terentang maju seraya mengait kesepuluh jarinya membentuk persegi. Ia mencoba meregangkan lengan-lengan itu setelah perjalanan yang berhasil memanjakan mata. “Aku hanya tak suka kau bersusah payah membawaku seolah aku adalah ratu, sedangkan kau berjalan menuntun. Itu aneh.”

 

“Tidak aneh jika itu untukmu.” Masih dengan menuntun sepeda pada jalan yang semakin menanjak, Jeremy melirik wanitanya di sisi lain yang terbatas kendaraan roda dua tersebut.

 

Well, mungkin itu tak aneh karena aku memang ratu.” Kali ini bibir ranum Joanna melebar. Ia tersenyum amat manis sembari menatap balik Jeremy yang tercengang dan sedikit mencerna kata-kata wanita itu. Tapakan Joanna mendahului si pria sepeda yang masih memutar otaknya atas kalimat seloroh sang istri.

 

Dahi Jeremy berkerut. “Sepertinya, dia sudah mulai gila.”

 

Langkah kaki kecil Joanna terhenti. Beratus kalipun ia berdiri dititik ini, tetap tak akan lelah kagum pada goresan keindahan menakjubkan Sang Pencipta.

 

“Jeremy, cepat!” Ia berbalik dan berteriak.

 

Di depan mereka, tepat di tempat mereka berpijak, tebing tinggi yang memunculkan lukisan syahdu nan elok terpampang jelas. Hamparan laut dengan suara penenangnya, bercahaya jingga bersamaan pantulan langit senja. Matahari yang mulai terbelah menjadi seperempat bagian—tenggelam dan muncul dibagian bumi lainnya. Di sisi kiri mereka, megahnya jembatan gantung Lion Gate terbentang seperti batang emas yang saling bersambungan, berkilauan, dan indah. Tentu saja, lebih dari indah saat satu-per-satu kuasa tangan Tuhan bercampur dengan tangan makhluknya, menciptakan lekuk-lekuk menakjubkan tersebut.

 

Kelopak mata Joanna terkatup. Ia menghirup dalam, membiarkan paru-parunya mengganti oksigen kotor yang berubah menjadi wangi hijau alam.

 

Sebuah rengkuhan hangat di pinggang dan aroma flamboyan laki-laki sentak membuat mata Joanna kembali terbuka. Tapi, tubuhnya sama sekali tak menolak. “Kau tidak kedinginan?”

 

“Sedikit. Beruntung ini bukan musim hujan.”

 

“Hari ini, aku putuskan melarangmu memakai pakaian seperti ini lagi. Dress dan hot pants? Persetan dengan kebiasaan di sini. Aku tidak ingin orang lain menikmati tubuhmu walau hanya sekedar melihat.”

 

Joanna mendongak mencari celah melihat mata Jeremy, “Apa tadi lelaki-lelaki itu memperhatikanku?”

 

“Tidak juga.” Jeremy mengarahkan pandangannya pada kapal pesiar yang melintas.

 

“Maksudku tidak juga untuk sekali. Aku bisa saja meretakkan tubuh-tubuh mereka kalau saja kau tidak akan ribut dengan semacam kata merepotkan. Kau pasti akan seperti itu. Memandangku dengan datar tanpa ekspresi, kemudian berkata jangan lakukan hal-hal yang merepotkan dan bukan konteksmu.”

 

Joanna tersenyum simpul, “Aku terharu pada pengertian dan imajinasimu.”

 

“Terima kasih, tapi aku tak butuh rasa harumu.”

 

“Oh! Sama-sama. Kau tidak perlu sungkan untuk rasa haru itu, tuan. Itu sama sekali gratis.”

 

Suara kekehan Jeremy sontak membuat rasa geli Joanna juga terumbar.

 

Di depan laut tenang itu, Jeremy membalik tubuh ramping Joanna dengan lembut. “Jadi, ini versi Jack and Rose kita? Bukan di kapal mewah Titanic, tapi di puncak Stanley.”

 

“Hal itu tak perlu kujawab kan Tuan Jack?” Joanna menyeringai. Menatap iris mata hitam prianya.

 

“Oke itu pertanyaan bodoh. Pertanyaan selanjutnya.” Tangan Jeremy mengusap lembut tepi rambut Joanna yang berterbangan. Ia beralih mengusap pipi kemerahan wanita itu.

 

“Jika suatu saat aku melupakan segalanya. Entah itu untuk sebab sejuta alasan, apa kau tetap akan menjadi Joannaku?”

 

Bibir tipis Joanna merekah. Ia meraih kedua telapak tangan Jeremy lembut. “Tanganmu dingin.” Dengan cekatan, Joanna mengusap berkali-kali kedua telapak tangan mereka hingga suhu menghangat. Joanna merunduk tanpa pengindahkan pincingan menuntut jawaban Jeremy. Hanya kali ini, cukup kali ini, Jeremy ingin mendengar kata-kata manis wanitanya.

 

“Bukankah pertanyaanmu sudah kau jawab sendiri? Joannamu, istrimu, wanitamu, dan semua kepemilikan ada padamu. Jadi, apa aku berhak menyergah keputusan itu, Je? Aku tidak berhak dan tidak akan mau.”

 

Mata Jeremy dan Joanna bertemu. “Tak peduli jika suatu hari nanti, entah untuk seribu sebab, kau bisa saja melupakan aku, tapi jangan lupakan dirimu sendiri. Jika kau melupakan dirimu juga, itu artinya tidak akan ada aku dalam dirimu. Aku, kau, kita. Camkan itu atau kubunuh kau.” Senyum mereka kembali terumbar.

 

Dengan lembut, Jeremy mendaratkan bibirnya pada dahi Joanna. Dan mata wanita itu terpejam.

 

Selang waktu enam puluh detik, ketika lampu-lampu kota mulai nampak jelas, wajah mereka hanya berjarak tiga centi. Mata Joanna masih terkatup menikmati tiap detik debaran jantungnya dan Jeremy. Hembusan napas Jeremy semakin jelas terasa menyusup pori-pori kulit wajah Joanna.

 

Tak ada tindakan serta sentuhan lembut dibibirnya, yang ia bayangkan.

 

“Ah! Sial!” Jeremy mengeram seraya menjauhi tubuh Joanna. Sentak mata Joanna melebar bingung.

 

“Burung sialan,” gumam Jeremy seraya menarik jijik blouse di bahunya yang terkena kotoran.

 

“Hahaha… Oh ya ampun!” Joanna tertawa lebar mendapati wajah merah menahan marah suaminya.

 

“Jangan tertawa. Ini merusak rencana romantis kita!”

 

“Oke… oke… peran Jack and Rose lebih baik kita tutup sekarang. Ayo kita pulang. Ini semakin dingin.” Joanna menarik lengan kiri lelaki itu yang terbebas dari kotoran burung. Berjalan menjauhi pagar pembatas tebing.

 

“Menyebalkan.…”

 

“Apa itu tadi burung nemo mu?”

 

“Aku benci nemo. Aku benci burung berpelatuk panjang yang suka berkata, milikku… milikku… Mulai sekarang namanya camar.”

 

Joanna menggelang, “Sepertinya dia mulai gila.”

 

 

 

 

                        *END*

 

 

           

HOAKAKAKAKAAK! Demi apa! ane geli bin muntah bin ngeri bin begidik sendiri bikin ini :v

Astagahhhhh! sama sekali jauh dari romantis..

Ini entah cerita keberapa tanpa unsur sad yang mengaharu biru itu bisa diitung ama gigi kali yee saking dikitnya :3

 

Oke. Terima kasih atas waktunya…

 

Silahkan kunjungi http://wenyzumariiya.wordpress.com/

2 thoughts on “Jack and Rose? Are you kidding me?!

  1. Ska brantem,bnyak cekcok tpi cma cndaan blaka ..
    Gmn yuaaa,rsanya klo jdi psangan UNIK kya gtu ..
    Bkalan seru n lucu deh kya’aaaXD.haha~

    #DAEBAK

Tinggalkan komentar